Oleh : KARNAKA – Direktur Binamandiri
Saat ini, pembahasan mengenai revisi UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sedang ramai diperbincangkan.
Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah jaminan kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk deposito oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
Dengan alasan “perlindungan”, revisi UU No. 18 Tahun 2017 diajukan untuk menambah deposito dari Rp1,5 miliar (satu miliar lima ratus juta rupiah) per P3MI menjadi Rp1,5 miliar per kawasan per P3MI.
Dengan asumsi semakin banyak deposito yang disetorkan, maka PMI akan semakin terlindungi, atau semakin banyak deposito maka hanya P3MI yang Bonafide saja yang akan bermain (Bonafide atau cukup punya Bohir Gede?)
Sebetulnya analogi darimana peningkatan Deposito akan membuat PMI makin terlindungi? (kalau itu diambil asumsinya)
Apakah Dana Deposito yang besar akan bisa mengkompensasi kerugian PMI? Enggak Juga!!
Karena selama ini pemerintah dalam menentukan deposito tidak menggunakan hitungan matematika. Misalnya Untuk Deposito 1,5 Milyar, maka maksimal penempatan tercover adalah 100 orang misalnya, maka resiko yang dijaminkan adalah 15 juta per orang; atau mungkin hanya 50 orang saja, jadi resiko yang dijaminkan adalah 30 juta perorang.
Buktinya dengan hanya Deposito 1,5 Milyar, ada yang bisa menempatakan hingga lebih dari 1000 orang/tahun. Kasus nyata adalah di tahun 2022, PT BB harus mengganti rugi penipuan rekrutment sebanyak 212 CPMI tujuan ke Polandia sebesar 2,6 Milyar, jauh diatas deposito yang ada (PT Bagus Bersaudara Akui Harus Bertanggung Jawab Atas Keberangkatan 211 CPMI di Lotim).
Sehingga pertanyaannya adalah APA DASAR PENAMBAHAN dan BESARAN DEPOSITO tersebut? Ini tidak pernah ada penjelasan selama ini, out of nowhere lah gampangannya.
Efektifkah Solusi Penambahan Deposito?
Berdasarkan pengalaman penulis, pemerintah berharap bahwa penambahan deposito ini akan mengurangi jumlah P3MI. Hanya P3MI yang berkualitas (dalam hal modal) yang diharapkan dapat beroperasi di industri penempatan PMI, sehingga dapat menekan angka permasalahan PMI di luar negeri.
Sekali lagi, harapannya adalah…
Dengan terbitnya UU No. 18 Tahun 2017, angka deposito P3MI dinaikkan tiga kali lipat dari sebelumnya hanya Rp500 juta di UU No. 39 Tahun 2004 menjadi Rp1,5 miliar pada Pasal 54b UU No. 18 Tahun 2017.
Pelaksanaannya pun “dipaksakan” sebelum 1 Januari 2020, setelah pelantikan kabinet baru. Kenapa “dipaksakan”? Karena UU tersebut berlaku surut, di mana izin yang menggunakan UU No. 39 Tahun 2004 harus disesuaikan dengan UU No. 17 Tahun 2018.
Padahal setahu penulis (maaf penulis lulusan Teknik Sipil bukan Jurusan Hukum), UU yang dapat berlaku surut, hanya terkait dengan korupsi dan terorisme.
Dan bila merujuk pada Pasal 88 tentang peralihan, jatuhnya adalah pada tanggal 22 November 2019 bukan di akhir tahun dimana Bank lagi obral Cash Back untuk liquiditas mereka.
Perencanaan 3 Tahun ke Depan: P3MI diwajibkan memiliki perencanaan 3 tahun ke depan, dan izin P3MI dapat diperpanjang jika P3MI dapat memenuhi 80% dari perencanaan awal.
Sejak diundangkan pada tahun 2004, tidak pernah ada evaluasi terhadap Klausul tersebut dan ada P3MI yang ditolak perpanjangan izinnya karena tidak memenuhi 80% dari Rencana Kerja.
Wallahu a’lam bishawab!
Anyway, memang akibat “pemaksaan” tersebut angka P3MI di awal 2020, menjadi tersisa 200an saja dari sebelumnya sekitar 450an P3MI.
Anggap saja “terkaget – kaget” karena dipikir tidak berlaku surut, artinya penambahan deposito itu bila nanti perpanjangan ijin.
Apakah 200-an P3MI tersebut sudah profesional?
Wallahu a’lam juga. Yang pasti, mereka yang memiliki modal atau dapat pinjaman 1 miliar untuk menambah deposito dalam waktu singkat.
Namun, yang pasti, penyampaian laporan pelimpahan P3MI oleh Kemenaker kepada Kementerian P2MI di Hotel El Royal pada tanggal 21 November 2024 menunjukkan bahwa per 21 November 2024, total P3MI mencapai 483 P3MI.
Dalam 4 tahun (2020-2024), jumlahnya bertambah 2x lipat; artinya, tidak perlu profesional, cukup memiliki modal untuk membuka P3MI.
Selain penambahan deposito, pemerintah telah menerapkan berbagai langkah untuk “meningkatkan profesionalisme P3MI”, antara lain:
- Perencanaan 3 Tahun ke Depan: P3MI diwajibkan memiliki perencanaan 3 tahun ke depan, dan izin P3MI dapat diperpanjang jika P3MI dapat memenuhi 80% dari perencanaan awal. Sejak diundangkan pada tahun 2004, tidak pernah ada evaluasi terhadap P3MI dalam perpanjangan izinnya.
- Sertifikat ISO 9001: Melalui Permenaker No. 9 Tahun 2014, P3MI diwajibkan memiliki Sertifikat ISO 9001 dengan harapan dapat menjadi profesional. Namun, kenyataannya, harga sertifikasi ISO 9001 anjlok menjadi hanya Rp3,5 juta, sudah all-in!
Binamandiri merupakan P3MI pertama di Indonesia yang mendapatkan ISO 9001:2008 pada tahun 2009.
Saat itu, biaya konsultasi pelatihan ISO 9001:2008 mencapai Rp40 juta di luar biaya transportasi dan akomodasi trainer, sehingga totalnya menjadi Rp50 juta.
Pelaksanaan konsultasi dan pelatihan ISO memerlukan waktu 1 tahun, dan prosesnya sangat menantang. Setelah pelatihan dan pendampingan oleh konsultan ISO, dilanjutkan dengan audit untuk mendapatkan Sertifikat ISO 9001:2008 dari Sucofindo, yang biayanya adalah Rp50 juta.
Setiap 6 bulan, dilakukan audit dengan biaya Rp25 juta, sehingga total minimal biaya untuk pengadaan ISO 9001:2008 selama 1 tahun adalah Rp150 juta.
Sementara itu, saat ini untuk mendapatkan Sertifikat ISO cukup membayar Rp3,5 juta setiap tahun dan mengisi template formulir tanpa perlu pelatihan. Dengan demikian, sertifikat ISO kini menjadi obral habis!
Intinya, banyak peraturan yang dibuat, tetapi sayangnya, tidak konsisten untuk ditegakkan. Orang Jawa bilang,
“iso ngomong ra iso nglakoni.”
Efek Peningkatan Deposito Per-Kawasan
Jika DPR dan pemerintah setuju untuk meningkatkan deposito per-kawasan per-P3MI, penulis memperkirakan hal ini hanya akan membuat Indonesia lenyap dari peta sumber pekerja dunia (global workforce).
Saat ini, Indonesia tidak terlalu dikenal sebagai sumber pekerja migran. Perusahaan-perusahaan asing lebih mengenal pekerja dari India, Filipina, Vietnam, Nepal, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka sebagai sumber pekerja migran.
Kenapa Indonesia tidak begitu terkenal? Karena Indonesia belum menganggap penempatan pekerja migran sebagai industri yang penting, sehingga promosi yang dilakukan pun kurang. Dari total penempatan di 2024 yang hanya 295.439 PMI (Detik : Kementerian P2MI Kirim 295.439 Pekerja ke Luar Negeri Sepanjang 2024).
Jumlah ini hanya 10% dari penempatan Filipina di 2023 yang mencapai 2,2 juta orang (Read : 2023 Overseas Filipino Workers (Final Results).
Sebagaimana disampaikan oleh Wamen Kementerian P2MI, 73% penempatan oleh Indonesia dilakukan ke Asia (Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Brunei Darussalam).
Maka, wajar jika PMI hanya dikenal di Asia sebagai asisten rumah tangga (ART) atau pekerja sawit dan konstruksi. Itulah potret industri penempatan PMI. Indonesia tidak pernah tercatat dalam peta perusahaan-perusahaan di kawasan Eropa dan mungkin di Timur Tengah, kecuali sebagai ART.
Oleh karena itu, tidak perlu menambah deposito, karena sebagian besar P3MI hanya berkutat di kawasan yang sama.
Sebaliknya, bagi mereka yang ingin memperlebar sayap penempatan, perlu berpikir ulang apakah membayar tambahan Rp1,5 miliar untuk menempatkan ke Eropa yang pasarnya mencapai 44 juta pekerja migran hingga 2050 atau 1,76 juta per tahunnya adalah keputusan yang tepat.
Di era BP2MI, terdapat 3 kawasan: Asia-Afrika, Eropa-Timur Tengah, dan Amerika-Pasifik.
Sebagaimana dijelaskan, 73% penempatan dilakukan di Asia, dan mungkin sisanya di Eropa-Timur Tengah. Namun, hingga saat ini, tidak ada penempatan resmi di kawasan Amerika-Pasifik dari P3MI.
Daripada membuang uang Rp1,5 miliar untuk mencoba mengeksplorasi Amerika Pasifik, misalnya, perlu dipertanyakan apakah ada penempatan yang sepadan dengan depositonya? Jadinya, atau lebih idealnya P3MI bermain aman saja, main di Asia.
Bukan rahasia lagi, sebagian pemilik P3MI juga merupakan agen di Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Malaysia. Para bohir di Asia tersebut siap membayar, sehingga secara tidak langsung mereka menguasai saham terbesar, demi keberlangsungan bisnis mereka.
Jika masih baru dalam promosi dan ingin menembus pasar baru, mana ada bohir yang bersedia?
Sekali lagi, tidak ada P3MI yang berminat mempromosikan PMI di luar wilayah Asia, terutama di pasar-pasar kerja baru. Justru, target Kemen-P2MI untuk menempatkan 425 ribu PMI di 2025 dirasa hanya akan menjadi mimpi karena kesalahannya sendiri.
Sebaiknya Solusinya Bagaimana?
Ibarat komentator bola, jangan hanya bisa berkomentar, tetapi juga harus memberikan solusi. 😀
Intinya, pemerintah perlu mengevaluasi apa yang telah dilakukan dan mengapa tidak ada perubahan. Jangan hanya memberikan peraturan tanpa melakukan evaluasi.
Sampai saat ini, BP2MI tidak memiliki sertifikasi ISO 9001, karena salah satu kuncinya adalah evaluasi, dan terbukti tidak pernah melakukan evaluasi diri.
Sebaiknya, pemerintah menerapkan sistem reward and punishment yang benar-benar efektif. TETAPI Jangan seperti kata orang Jawa, “anget-anget tai ayam,” yang semangat di awal saja.
Insentifnya misalnya, mereka diikutkan dalam business meeting, jika ada brafax dari perwakilan, berikan prioritas untuk diinformasikan, dan berikan pengecualian dalam pengurusan dokumen tertentu untuk menembus pasar baru, dan lain-lain.
Kembali lagi, solusinya apa?
Coba perhatikan aturan-aturan yang diterapkan pemerintah yang katanya bertujuan untuk membuat P3MI profesional. Aturan tersebut cenderung bersifat umum dan mandatory atau wajib! Sesuatu yang bersifat umum dan wajib selalu memiliki celah untuk mencari peluang, sehingga pada akhirnya menjadi business as usual. Ini bukan tantangan yang berarti.
Sebagai contoh, ketika diwajibkan menaikkan deposito 3x lipat dari 500 juta menjadi 1,5 miliar, meskipun jumlah P3MI terpangkas separuh, ternyata jumlah P3MI justru meningkat dibandingkan sebelum penerapan penambahan deposito.
Kenapa? Karena di awal-awal, masih ada keraguan, tetapi ketika semua pihak melaksanakannya dan diberlakukan sama, semua akhirnya menjalankan; mereka menemukan cara untuk bertahan dan mendapatkan tambahan 1 miliar.
Kemudian, penerapan ISO, di mana Binamandiri harus mengeluarkan dana yang sangat besar, kini menjadi obral habis.
P3MI tidak perlu mengeluarkan banyak usaha, cukup menyisihkan Rp3,5 juta per tahun.
Penyedia ISO yang biasanya setahun belum tentu ada 2 perusahaan yang mau mengajukan ISO, tiba-tiba dengan penerapan Permen No. 9 Tahun 2014, ada 440 perusahaan yang mengajukan ISO. Karena sifatnya masif, sertifikat ISO tersebut pun diobral.
Kini, ISO tidak semewah dulu, karena semua orang bisa mendapatkannya.
Sebaiknya, pemerintah menerapkan sistem reward and punishment yang benar-benar efektif. Jangan seperti kata orang Jawa, “anget-anget tai ayam,” yang semangat di awal saja.
Contohlah Singapura, yang menerapkan demerit point. Jika ingin tahu lebih lanjut, tidak perlu melakukan kunjungan kerja, cukup buka > Demerit Points System untuk detail penjelasannya.
Intinya, berikan reward and punishment. Jika perusahaan tersebut bagus, profesional, dan memiliki berbagai macam sertifikat akreditasi, serta memiliki sedikit masalah (karena tidak ada P3MI yang sempurna), berikanlah insentif.
Misalnya, mereka diikutkan dalam business meeting, jika ada brafax dari perwakilan, berikan prioritas untuk diinformasikan, dan berikan pengecualian dalam pengurusan dokumen tertentu untuk menembus pasar baru, dan lain-lain.
Sebaliknya, jika semakin banyak masalah, keluhan, atau bukti overcharging ditemukan, berikan demerit point dan bebankan deposito tambahan; bahkan mungkin sampai 10 miliar jika demerit point mencapai angka 75 dan cabut izinnya jika mencapai angka 85 (tidak perlu menunggu sampai 100).
Jangan dipukul rata seperti sekarang, di mana perusahaan yang profesional disamakan dengan P3MI yang brengsek. Akibatnya, yang profesional justru turun derajat menjadi bermasalah, padahal persyaratannya sama, dan tidak ada perlakuan khusus.
Jangan biarkan penambahan deposito dibebankan dengan alasan perlindungan. Justru mereka yang profesional seharusnya bisa menembus pasar baru yang lebih baik dan harusnya diberi penghargaan, bukan justru terbebani. Belum tentu P3MI yang bermasalah dapat menembus pasar baru karena rekam jejak yang buruk.
Justru P3MI yang bermasalah tetapi memiliki modal banyak, jika menembus pasar baru, justru dapat merusak pasar baru tersebut pada akhirnya.
Hindari kewajiban akreditasi yang hanya menjadi sekadar persyaratan, bukan sebagai bentuk profesionalisme.
Misalnya, jika Kemen-P2MI mau, bentuklah tim dari luar Kemen-P2MI yang terdiri dari orang-orang profesional seperti Prof. Rhenaldi Kasali dan Merry Riana, yang memang penggiat penempatan ke luar negeri, untuk melakukan akreditasi, dan P3MI wajib bayar untuk akreditasi, jangan dibayar APBN!!!
Orang dikasih Gratis biasanya Seenaknya sendiri. Dimanapun orang mengambil sertifikasi atau akreditasi ydi-a bayar dan harus MAHAL, jadi ada bobotnya, sehingga tidak obral habis!
Insya Allah Kemen-P2MI akan mendapatkan P3MI Golden Team yang Berkualitas dan bisa dibanggakan untuk dipromosikan.
Nantinya, tim Kemen-P2MI yang mengevaluasi tim akreditasi. Jangan ikut dalam Tim Akreditasi, karena hanya menjadi “Conflict of Interest”.
Jika P3MI memiliki sertifikat akreditasi dari mereka dan dinyatakan sebagai P3MI level A, berikan insentif yang besar, dengan pengurangan deposito, kemudahan akses menembus pasar baru, dan berikan karpet merah, karena merekalah yang diharapkan dapat menggerakkan profesionalisme industri penempatan.
Dengan adanya reward dan punishment, akan timbul persaingan untuk menjadi P3MI profesional. Mereka akan berlomba-lomba untuk menjadi profesional. Sementara itu, mereka yang berada di status quo akan pasrah atau menunggu terbebani dengan deposito atau izinnya dicabut.
Ya Ini adalah saran, dari pengalaman penulis selama 40 tahun bergulat di industri penempatan PMI.
Semoga bisa menjadi masukan yang baik dan membuat industri penempatan PMI semakin maju dan semakin baik.