Oleh : KARNAKA – Direktur Binamandiri Group
Sebelum bergantinya tahun, Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Dzulfikar Ahmadi Tawalla, menyampaikan pidato akhir tahun Kementerian P2MI, di mana beliau menyampaikan total penempatan yang telah dilakukan adalah sebanyak 295.439, di mana 51,2% adalah Pekerja Rumah Tangga (Housemaid/Caregiver) (Kementerian P2MI Kirim 295.439 Pekerja ke Luar Negeri Sepanjang 2024).
Provinsi penyumbang PMI terbesar masih dipegang oleh Jawa Timur, yaitu sebanyak 79.001 PMI (26,76%), diikuti secara berturut-turut oleh Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, dan Lampung (79 Ribu Orang Jatim Jadi Pekerja Migran, Paling Banyak Se-Indonesia).
Dari jumlah tersebut, Hong Kong menjadi negara penempatan terbesar dengan 99.168, diikuti oleh Taiwan 84.306, dan Malaysia 50.917; yang mana diklaim sebagai keberhasilan di 2024 (Hong Kong Negara Penempatan Favorit, Ada 99 Ribu Pekerja Migran Indonesia).
Sebetulnya, angka-angka tersebut miris untuk disebut sebagai sebuah keberhasilan di 2024.
Mengapa?
Karena angka-angka tersebut berbanding terbalik dengan negara tetangga Indonesia, yaitu Filipina. Filipina, dengan jumlah penduduk 1/3 dari Indonesia, mampu menempatkan pekerja migrannya sebanyak 2,1 juta orang, atau hampir 10 kali lipat penempatan di Indonesia (2023 Overseas Filipino Workers (Final Results).
Sehingga, remitansi PMI yang konon merupakan devisa terbesar kedua non-migas setelah tekstil (karena industri tekstil sedang carut-marut) sebesar Rp 251 triliun di 2024 (Kementerian P2MI: Remitansi Tahun 2024 Mencapai Rp 251,5 Triliun, Naik 14%) atau lebih sedikit dari uang yang dikorupsi Harvey Moeis.
Secara matematika sederhana, Filipina mendapatkan devisa sebanyak Rp 2.510 triliun dari pekerja migran mereka, atau lebih besar daripada APBN Indonesia yang mencapai Rp 2.247 triliun di Oktober 2024.
Pak Prabowo tidak akan perlu pusing dengan PPN 12%!
Itu kalau benar perhitungan remitansinya, karena Filipina dengan 2,1 juta pekerja migrannya hanya mendapatkan Rp 66,9 triliun (Wallahu A’lam).
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa industri penempatan pekerja migran Indonesia belum dilakukan secara serius dan profesional.
Hal tersebut lebih karena selama ini terlalu diributkan masalah, peraturan yang tidak jelas, dilanjutkan dengan tumpang tindih peraturan, dan diperparah dengan masing-masing stakeholder, baik dalam maupun luar negeri, menerbitkan peraturan masing-masing dan menggunakan peribahasa “di mana kaki dipijak, di situlah peraturan berlaku”; jadi lebih pada perebutan kekuasaan antara stakeholder daripada memiliki visi dan misi yang sama untuk kemajuan bersama dan memberikan pelayanan terbaik.
Banyak orang, terutama mereka yang bekerja di luar negeri, seperti para insinyur minyak, diplomat Indonesia, dan pengusaha Indonesia, merasa tersinggung jika disebut bahwa Indonesia adalah negara sumber pembantu rumah tangga (PRT) atau kasarannya, negara sumber babu.
Tapi itu adalah kenyataan yang tidak dipungkiri, dengan lebih dari 50% penempatannya adalah di pekerja rumah tangga, wajarlah kalau disebut secara kasar Indonesia sebagai negara babu.
Bahkan Menteri P2MI, Bapak Abdul Kadir Karding, pada Hari Migran Internasional di Hotel Bidakara, memberikan kemungkinan (walaupun sampai tulisan ini dibuat) untuk membuka kembali moratorium penempatan pembantu rumah tangga di Timur Tengah yang ditutup sejak 2015.
Hal ini membuktikan, walaupun belum tahu jadi tidaknya, bahwa dengan niatan Pak Menteri P2MI tersebut, hanya akan menasbihkan Indonesia sebagai negara PRT, karena sekali lagi, pasar yang berbicara.
Pasar terdiri dari pengelola pasar, pembeli, dan penjual; pembeli adalah permintaan di luar negeri akan PRT, selanjutnya penjual, yaitu P3MI, di mana mungkin 80% lebih bermain di sektor PRT; kemudian didukung oleh pengelola pasar yang mengizinkan penempatan PRT, bahkan didukung oleh, konon, ada 24 lembaga sertifikasi profesi (LSP) terkait PRT.
Pembaca bisa membayangkan begitu banyaknya LSP hanya untuk mensertifikasi satu profesi PRT saja dan untuk keluar negeri; sedangkan jenis-jenis profesi seperti berbagai macam tukang, berbagai macam insinyur, dan berbagai macam profesi lainnya, LSP yang tersedia tidak lebih dari dua untuk masing-masing profesi.
Jadi, jangan tersinggung kalau Indonesia menerima cap yang tidak menyenangkan tersebut. Kalau pemerintah berkata bahwa karena level pendidikan sebagian besar pekerja adalah di bawah SMP, sehingga hanya cocok bekerja di sektor rumah tangga, bagaimana dengan Filipina? OECD dalam indeks PISA menempatkan Indonesia di ranking 70 dan Filipina di ranking 77/78; Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dari Filipina.
Sayangnya, karena yang dipromosikan di Indonesia hanya di sektor rumah tangga luar negeri, di negara-negara yang jadi jujukan PRT, yaitu nomor 1 adalah Hong Kong dan nomor 2 adalah Taiwan, maka tidak banyak yang tertarik bekerja ke luar negeri selain sebagai PRT.
Sebaliknya, karena peluang kerja yang ditawarkan untuk pekerja Filipina di berbagai sektor dan di berbagai negara di seluruh dunia, 80% warga negara Filipina berminat untuk bekerja ke luar negeri (Study: 80% of Pinoys want to work abroad).
Walaupun pekerja migran Filipina 55% adalah wanita, tetapi mungkin hanya 40% saja yang bekerja di sektor PRT; karena secara kasat mata, bila kita berkunjung ke berbagai negara, kita selalu melihat warga negara Filipina bekerja di hotel, restoran, kafe, dan tempat-tempat publik lainnya di berbagai negara di luar negeri. Sehingga cap negara PRT tidak begitu disematkan kepada Filipina.
Filipina adalah pekerja asing terbesar di sektor perhotelan! (The Cruise Ship Workforce – Who Bakes the Croissants and Teaches the Samba?).
Data menunjukkan bahwa 30% pekerja di kapal pesiar adalah orang Filipina, padahal mereka tidak punya Bali. Setiap turis asing lebih mengenal Bali dan Thailand sebagai tempat wisata, tetapi Filipina adalah pekerja di sektor perhotelan terbesar di dunia.
Inilah kelemahan Indonesia: kurang promosi!
Selain itu, tingkat egonya tinggi, karena lebih gencar mempromosikan perawat untuk bekerja ke Amerika; padahal banyak orang sangat skeptis dengan imigrasi Amerika di bawah Trump (‘It’s a scary time’: US universities urge international students to return to campus before Trump inauguration).
Selama ini, pemerintah Indonesia hanya mempromosikan di negara-negara yang sudah terbangun sistemnya dengan penempatan atase ketenagakerjaan, seperti Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, dan Hong Kong, daripada membuka dan menembus pasar baru yang memiliki peluang besar.
Dengan dibentuknya Kementerian P2MI, akankah Indonesia bisa menjadi leading country di penempatan pekerja migran? Akankah stigma Indonesia sebagai negara PRT bisa diminimalkan?
Sekali lagi, jawabnya wallahu a’lam bishawab.